Jakarta - Hidup Sjafruddin Prawiranegara memang bak balada. Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tentu saja seorang pahlawan bagi bangsanya. Tapi ia menjadi korban kezaliman penguasa sebelum akhirnya dengan sangat terlambat diakui kepahlawanannya.
Tidak bisa ditampik jasa Sjafruddin dalam mempertahankan kedaulatan NKRI sangatlah besar. Tapi untuk menetapkan lelaki hebat ini sebagai pahlawan nasional tidak gampang. Nama Sjafruddin diajukan hingga tiga kali sebelum akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011 oleh Presiden SBY. Awalnya Sjafruddin diusulkan pada 2007, lalu diusulkan lagi pada 2009. Dan baru pengusulan pada 2011 berhasil.
Pembahasan gelar pahlawan untuk Sjafruddin alot sebab terkait cap ia menjadi pemberontak dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sjafruddin menjadi perdana menteri gerakan yang ditumpas oleh Soekarno itu.
PRRI lahir dari kerumitan persoalan Indonesia sebagai negara yang masih sangat muda. PRRI ingin mengingatkan Soekarno yang dianggap sewenang-wenang. Saat itu republik memang dalam kondisi yang sulit. Kemiskinan menerjang semua daerah di Indonesia. Tapi Soekarno justru sibuk membangun proyek-proyek mercusuar seperti Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Stadion Gelora Senayan di Jakarta.
Sikap Soekarno tidak disukai panglima-panglima militer yang ada di daerah. Apalagi Soekarno terlalu dekat dengan PKI yang tidak disukai oleh kelompok Islam dan nasionalis. Panglima-panglima militer di daerah mulai mengadakan gerakan.
Sejumlah politisi di Jakarta juga sudah mulai bergerak. Wakil Presiden Muhammad Hatta, tokoh politisi dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sumitro Djojohadikusumo dan tokoh Partai Masyumi Muhammad Natsir turut dalam rapat-rapat rahasia bersama tokoh PRRI dan tokoh Persatuan Rakyat Semesta (Permesta) Vence Sumual.
"Jadi PRRI dibentuk tahun 1958, Permesta itu tahun 1957. Karena merasa satu ideologi dan tujuan kenapa sering disebut PRRI/Permesta," jelas kerabat Sjafruddin, Nadjmudin Busro, yang juga sejarahwan asal Banten itu.
PRRI ini dibentuk oleh Panglima Divisi Banteng, Kolonel Ahmad Husein dan sejumlah stafnya, seperti Kolonel Simbolon, bersama sejumlah politisi seperti Muhammad Natsir, Sumitro Djojohadikusumo, M Hatta di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Pada tanggal 10 Februari 1958, PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan 'Piagam Jakarta' yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Soekarno agar kembali kepada kedudukan yang konstitusional menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan.
PRRI mengultimatum dalam tempo 5 x 24 jam Kabinet Juanda pemerintahan Soekarno harus diserahkan ke Kabinet Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta meminta Soekarno menjauhi PKI.
Saat itu Soekarno yang sedang berada di Tokyo, Jepang pun menolak tuntutan PRRI. Mendapat penolakan Soekarno, PRRI membalas dengan mengumumkan pendirian pemerintahan tandingan yaitu PRRI lengkap dengan kabinetnya. Kabinet yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 itu terdiri dari Sjafruddin sebagai Perdana Mentri dan Mentri Keuangan. M Simbolon sebagai Mentri Luar Negri. Burhanudin Harahap sebagai Mentri Pertahanan dan mentri kehakiman dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran
"Ultimatum ini membuat Soekarno marah dan langsung membuat Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris Nasution untuk memberantas PRRI," terang Nadjmudin.
Sjafruddin menyerahkan diri kepada ibu pertiwi setelah Soekarno mengumumkan amnesti bagi para pendukung PRRI untuk menyerahkan diri sebelum 5 Oktober 1961. Namun balasannya setelah menyerah Sjafruddin dijebloskan ke penjara dan dibui selama 3,5 tahun.
"Sjafruddin ini orang jujur. Saat turun gunung dia juga menyerahkan 29 kg emas milik PRRI kepada AH Nasution," kata Nadjmudin.
Emas ini digunakan PRRI sebagai modal untuk perang karena saat PRRI itu, Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Sentral. Meski pernah dijebloskan ke penjara, presiden PDRI ini tidak dendam pada Soekarno. Ketika PKI hancur dan Soekarno akan disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa, Sjafruddin-lah yang membela Soekarno.
"Dia sempat berkata kalau sampai Soekarno diadili, akulah orang yang akan membelanya," jelas Nadjmudin.
PRRI bukanlah gesekan pertama Sjafruddin dengan Soekarno. Saat masih menjadi Ketua PDRI, ia pun berbeda pendapat dengan Soekarno dalam menyikapi perundingan Roem - Van Royen.
Sikap Sjafruddin dan didukung Soedirman berpendapat seharusnya PDRI yang berunding dengan Belanda, bukan Soekarno yang saat itu menjadi tawanan. Namun kala itu, gesekan antara para pemimpin RI tidak sampai menjadi perpecahan. Gesekan selesai dengan lebih mengedepankan persatuan bangsa daripada ego masing-masing.
Setelah bebas dari penjara, Sjafruddin memilih jalur dakwah dan mananggalkan panggung politik. Ia menjadi Ketua Korps Mubalig Indonesia (KMI) pada tahun 1985. Meski di jalur dakwah, pria bersahaja ini tetap kritis terhadap pemerintahan.
Pada masa Soeharto, Sjafruddin juga mengalami pencekalan. Ia dilarang menjadi khatib salat Idul Fitri 1404 atau 1980 terkait isi kotbahnya yang banyak berisi politik. Khutbah Sjafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' akan diakukan di Masjid Al A'raf, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Pada tanggal 15 Februari 1989, Sjafruddin wafat. Sang Presiden terlupakan ini wafat pada umur 77 tahun dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Kini, dengan diberikan gelar pahlawan nasional kepada Sjafruddin, maka pengikut dan pendukung PRRI semestinya juga diberi label yang sama. Sebab, pendukung dan pengikut PRRI yang dicap pemberotak oleh pemerintahan Soekarno dipicu persoalan perbedaan pandangan politik dan ideologi.
Pemerintah sendiri, khususnya Kementerian Pertahanan (Kemenhan) juga menilai persoalan PRRI menjadi lebih clear dengan pemberian penghargaan pahlawan kepada Sjafruddin. Diakui Kemenhan, selama ini ada paradigma, baik pemerintah maupun TNI bahwa PRRI adalah suatu gerakan pemberontakan atau pengkhianatan.
Kini disadari PRRI memberontak karena memang situasi saat itu memaksa mereka melakukan itu. Mereka memberontak karena ingin mengoreksi keadaan. "Jadi saat ini kita positif memandang persoalan PRRI ini terjadi karena ada perbedaan pandangan atau pendapat," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhan Brigjen TNI Hartind Asrin kepada detik+.
Sumber:DetikNews